ANAKKU, PAHLAWANKU # 1

Syahdan pada suatu hari, seorang ibu tengah mempersiapkan hidangan untuk tamu kehormatannya. Hidangan itu berupa daging kambing yang dimasak spesial. Sang ibu pun menyajikan dengan indah dalam sebuah wadah. Namun alangkah kagetnya sang ibu, ketika seorang anaknya yang masih kecil, mendadak menaburkan pasir ke hidangan tersebut.
Apa yang akan kita lakukan jika kita adalah ibu dari anak tersebut? Mungkin kita akan memakinya, menghukumnya, mengurangi jatah uang sakunya. Sama seperti kita, si ibu juga sangat kesal dan marah. Tetapi yang keluar dari mulut sang ibu adalah sebuah kemarahan yang unik. “Sudais, dasar kamu anak nakal! Awas kamu kalau sudah besar kamu akan menjadi IMAM MASJIDIL HARAM!”
Apa yang terjadi dengan anak itu di kemudian hari. Ternyata dia betul-betul menjadi Imam Masjidil Haram. Syaikh Sudais, siapa yang tidak mengenal bacaan murotalnya yang khas itu?
Sementara itu, di sudut sejarah yang lain, seorang janda miskin yang tinggal di dekat kota Mekah, berupaya keras untuk menjadikan putranya sebagai seorang yang terdidik. Namun karena dia tak memiliki cukup biaya, dia didik sendiri putranya. Dia ajari menulis dan membaca. Sebagai sarana, dia gunakan berbagai peralatan seperti pecahan tembikar, pelepah kurma, tulang unta, potongan kulit binatang dan sebagainya untuk menulis. Sang anak akhirnya benar-benar tumbuh sebagai sosok yang cerdas dan terpelajar. Hingga pada usia 15 tahun, si anak akhirnya meminta izin untuk keluar kota dalam rangka memperkuat keilmuannya. Meskipun cinta membalut kuat, demi kebaikan sang putera, si ibu pun mengizinkannya. Kita mengenal sosok yang besar dalam didikan sang ibu itu sebagai salah seorang tokoh yang sangat kita kenal, yakni Imam Syafi’i.
Betapa banyak pahlawan yang terlahir di muka bumi ini, ternyata berasal dari sosok seorang ibu yang hebat. Ibu dari Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel (Istanbul) misalnya, sejak putranya itu masih bayi, dia selalu mengajak bayi Al-Fatih keluar dari istana. Dia ajak bayinya itu ke sebuah tebing yang menghadap ke Konstantinopel Sang ibu mengatakan kepada anaknya itu, “Wahai anakku, di sana terdapat kota Konstantinopel. Dan Rasulullah SAW bersabda: Konstantinopel itu akan ditaklukan oleh tentara Islam. Rajanya (yang menaklukan Konstantinopel) adalah sebaik-baik raja, dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara. Ketahuilah anakku, engkaulah orangnya.”
Kalimat itu terus menerus dibisikkan kepada bayi Al-Fatih. Dan di kemudian hari, ternyata betul. Muhammad al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel, yang kemudian dia ganti namanya menjadi Istanbul. Dari penaklukan itulah berawal kekuasaan sebuah imperium besar dalam sejarah, yakni Kekhilafahan Turki Utsmani hampir selama 500 tahun!
Kita mengenal Khansa, seorang shahabiyah yang mampu membangkitkan semangat jihad kepada ke-4 puteranya. Dan ketika ke-4 puteranya tersebut syahid di peperangan Qadisiyah, tak ada sedikit pun perasaan sedih atau gusar pada diri Khansa, karena ia telah yakin, putera-puteranya telah mendapatkan kemenangan yang hakiki dan telah masuk ke surga-Nya tanpa hisab.

Setiap kita belajar sejarah, sesungguhnya kita sedang belajar tentang para penggerak sejarah, yaitu orang-orang besar. Mereka terdiri dari kelompok: pahlawan dan musuh besarnya. Kita mengenal Daud a.s. dengan musuhnya, Jalut; Ibrahim a.s. dengan musuh besarnya, Namruj; Musa a.s. dengan musuh besarnya, Fir’aun; dan sebagainya. Hampir tak ada nama ‘orang kecil’ tercatat dalam sejarah, kecuali jika ‘orang kecil’ itu melakukan sesuatu yang besar. Awalnya mereka adalah orang-orang yang semula tak dipandang, namun  mendadak terkenal, sehingga ada istilah from zero to hero. Kita mengenal Budak Wahsyi yang membunuh Hamzah r.a., Gravilo Princip—pembunuh Archduke Franz Ferdinand dari Austria, yang pembunuhannya memicu terjadinya perang dunia pertama. Akan tetapi, tetap saja penggerak dari dinamika sebuah sejarah adalah orang-orang besar itu. Sehingga, beberapa pakar menyebutkan, bahwa sejarah itu sesungguhnya kumpulan biografi orang-orang besar. 

Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan
Ditulis oleh Afifah Afra


0 komentar:

Post a Comment