Saya pernah
dibuat ternganga oleh perilaku seorang kenalan, yang dengan enteng memaki
seorang pengemis yang meminta sedekah kepadanya. Bermasa terlewat, saya sibuk
mencari jawab, apa sebenarnya yang membuat kenalan saya tersebut ‘kehilangan
nurani’nya dan dengan tega mengusir pengemis tersebut. Padahal, tuntutan
pengemis itu tidak banyak, hanya sekeping logam 100 rupiah, yang jika dibelikan
makanan paling-paling hanya mendapatkan sepotong kerupuk.
Maka, ketika
istilah ‘kelaparan ego’ diperkenalkan oleh Less Giblin dalam buku Seni Membina
Hubungan dengan Orang Lain (diterbitkan oleh Gramedia), saya dibuat terhenyak.
Menurut Less Giblin, ego (konsep diri) juga bisa lapar. Dan orang yang
kelaparan egonya, tak akan mungkin mampu berbagi dengan tulus, kepada orang
lain. Dengan kata lain, hanya orang yang egonya telah ‘kenyang’lah yang mampu
menjalin hubungan mesra, tanpa reserve,
dengan orang lain. Orang semacam inilah yang akan mampu membina hubungan baik
dengan siapapun, meskipun partner tersebut adalah sosok yang jutek, egois, suka
menggosip… yakni orang-orang yang egonya masih lapar.
Penjelasan dari
ungkapan Giblin adalah sebagai berikut. Setiap orang pasti memiliki gambaran
diri yang ideal (self ideal), yang
pada masing-masing orang berbeda-beda, tergantung ideologi kehidupan yang
dianutnya. Pada seorang Muslimah, sosok ideal yang diharapkan melekat pada
dirinya adalah sosok mujahidah yang kuat dzikir, kuat fikir, kuat badan, kuat
ma’isyah, kuat ibadah, kuat segalanya. Sayang, dalam tataran real, kita harus terbentur pada
kenyataan akan diri kita yang sebenarnya (self
image). Misalnya, sosok kita yang malas beribadah, sakit-sakitan, otak
cupet, senantiasa terbentur masalah ekonomi dan sebagainya.
Semakin dekat self image dengan self ideal, maka seseorang akan semakin mencintai dirinya sendiri.
Ia adalah orang yang kenyang egonya. Sedangkan semakin jauh self image dengan self ideal, maka seseorang akan semakin membenci dirinya sendiri.
Ia adalah orang yang kelaparan egonya. Yang menginginkan sesuatu yang serba
ideal, namun tak berdaya, atau tak kuat usahanya dalam mencapai idealisme
tersebut.
Sekali lagi,
orang yang mampu ikhlas berbagi, adalah orang yang telah kenyang ego. Inilah barangkali
rahasia di balik hadist nabi yang berbunyi,
“Belum sempurna iman seseorang sebelum ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
“dan pada dirimu, maka apakah kamu tidak
memperhatikan?” (Adz-Dzaariyaat: 21).
Bagaimana dengan
yang terjadi pada kenalan saya tersebut? Maaf, bukannya sedang membuka aib. Dia
adalah orang yang secara pengamalan agama sangat kurang, pendidikan rendah,
bahkan penghasilannya pun pas-pasan. Dari segi apapun, dia adalah orang yang
‘kelaparan.’ Bagaimana bisa orang yang kelaparan berbagai ‘makanan’ dengan
orang-orang yang sama-sama kelaparan?
Semoga kita
bukan termasuk orang yang lapar egonya.
Wallahu a’lam
bish-showwab.
0 komentar:
Post a Comment