Johan
galau bukan main. Usianya sudah masuk kepala tiga, namun belum juga memiliki
pasangan sah (istri). Sebenarnya, Johan sudah bekerja. Penghasilannya pun
lumayan. Namun, Johan merasa bahwa untuk bisa menjadi seorang suami dan ayah
yang gagah, dia harus memiliki penghasilan berlimpah. Paling tidak, dia punya
rumah, mobil sendiri, dan simpanan yang cukup. Masak istri ditaruh di rumah
kontrakan, begitu pikirnya. Tetapi, meski telah bekerja sekeras-kerasnya, Johan
tetap belum juga mendapatkan apa yang diinginkannya.
Kalau
kita melihat masyarakat kita, orang-orang yang berpikiran seperti Johan,
ternyata cukup banyak jumlahnya. Orang yang memilih menunda pernikahan dengan
alasan belum siap. Padahal, secara umur, dia sudah lebih dari cukup. Selain
alasan ketidaksiapan, ada pula yang memilih membujang karena tak mau direpoti
dengan anak dan istri. Bahkan, ada pula sahabat Rasul yang pernah mendatangi
Rasulullah dan mengatakan bahwa tak ingin menikah karena ingin fokus beribadah.
Tiga orang sahabat pernah datang kepada Rasulullah dan bertekad
untuk shalat malam dan puasa terus menerus, juga menjauhi perempuan dan tidak
menikah selama-lamanya. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah,
bukankah aku ini orang yang paling bertakwa kepada Allah, tetapi aku tetap
berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, juga menikah. Barangsiapa membenci
sunnahku, berarti ia bukan dari ummatku.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ya, menikah adalah sunnah Rasul. Dalam Islam, menikah bukan sebuah
perkara main-main. Afifah Afra, dalam buku “Panduan Amal Wanita Shalihah” bab
Rumah Tangga menuliskan sebagai berikut:
Rumah tangga, bagi seorang muslim adalah hal
yang sangat urgen. Islam memandang bahwa keluarga merupakan kebutuhan pokok
dalam hidup bermasyarakat, yakni bahwa keluarga merupakan pondasi bagi sebuah
masyarakat. Baik-buruknya keluarga, akan berpengaruh terhadap baik-buruknya
masyarakat. Masyarakat Islami, terdiri dari keluarga-keluarga yang Islami.
Mereka ibarat batu bata-batu bata berkualitas tinggi. Sedangkan masyarakat
jahiliyah, dibentuk dari keluarga-keluarga yang abai terhadap perintah Allah
dan justru melaksanakan apa-apa yang dilarang Allah SWT. Itulah batu bata-batu
bata yang keropos. Seperti apa tingkat kekokohan ‘bangunan’ sebuah masyarakat,
tengoklah bagaimana kualitas keluarga-keluarga yang menyusunnya.
“Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu,
dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.” (QS.
an-Nisa’: 1).
Dari ayat tersebut, jelas
terlihat, bahwa dari sepasang lelaki dan perempuan, akan berkembang biak
menjadi lelaki dan perempuan yang banyak. Kualitas lelaki dan perempuan yang
banyak itu, akan sangat dipengaruhi oleh kualitas sepasang lelaki dan perempuan
yang menurunkan banyak generasi tersebut. Kesimpulannya, bahwa umat yang
bertauhid, pertama kali dibentuk oleh keluarga yang juga bertauhid; sedangkan
keluarga yang bertauhid, terbentuk dari sepasang lelaki dan perempuan yang juga
bertauhid. Tanpa adanya lelaki dan perempuan beriman yang membentuk keluarga
yang juga beriman, tak mungkin Islam tegak di muka bumi ini sebagai sebuah
agama yang bersifar rahmatan lil ‘alamin.
Oleh karenanya, dorongan untuk
berumah tangga sangat kuat dalam Islam. Perjodohan antara seorang lelaki dengan
seorang perempuan, adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah SWT
berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.” (QS. ar-Rum: 21).
Nah, masih ada yang belum tergerak
hatinya untuk menikah? [US].
0 komentar:
Post a Comment