Sembari
berlinang air mata, Shafiyah mendatangi Rasulullah SAW, suaminya. Pengaduannya
mengalir dari mulutnya, dan disimak dengan seksama oleh Rasul. Ternyata,
Shafiyah baru saja berselisih dengan Aisyah dan Hafshah. Kata Hafshah dan
Aisyah kepada Shafiyah, “Kami ini lebih mulia kedudukannya di mata Rasulullah
di mata kamu!”
Shafiyah
binti Huyai bin Akhtab, berbeda dengan istri-istri lainnya, berasal dari
Yahudi, khususnya Bani Nadhir. Betapa terpukulnya Shafiyah mendengarkan
perkataan kedua madunya itu. Yahudi memang kaum yang banyak disebut-sebut keburukannya
di dalam Al-Quran. Apalagi, Bani Nadhir juga berkhianat kepada Kaum Muslimin
dan akhirnya terjadi peperangan. Seluruh Bani Nadhir akhirnya diusir dari
Madinah.
Mendengar
pengaduan istrinya, Nabi dengan penuh kasih berkata, “Tidakkah engkau
mengatakan kepada mereka berdua, ‘Bagaimana kalian lebih mulia dariku,
sementara suamiku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun, dan pamanku adalah
Musa.’”
Shafiyah
memang keturunan dari Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq
bin Ibrahim. Dia dikenal sangat jelita dan berkulit putih. Sebelum menikah
dengan Muhammad SAW, Shafiyah pernah menikah dua kali dengan pemuka dari kalangan
Yahudi. Setelah masuk Islam, dia menerima pinangan Rasulullah SAW.
Kita bisa
melihat, betapa Rasulullah sangat memperhatikan dan menjaga kehormatan
istrinya, meski dia berasal dari bangsa yang sangat memusuhi Rasulullah. Rasul
berusaha membesarkan hati istrinya, dan bahkan pernah mendiamkan salah seorang
istrinya, Zainab, yang mencela Shafiyah sebagai perempuan Yahudi.
Alih-alih
menjaga kehormatan, kadang kita melihat para suami malah dengan santainya
membeberkan aib dan keburukan pasangannya di depan orang lain. Demikian juga
sebaliknya. Bukankah istri atau suami adalah pakaian kita? Jika dia kumal,
sesungguhnya kita pun kumal. Membeberkan ‘kekumalan istri’, bukankah sama
dengan membeberkan kekumalan diri? [U.S.].
0 komentar:
Post a Comment