Peran Ibu Dalam
Menumbukan Sifat Kepahlawanan
Jika melihat sekilas biografi orang-orang besar tadi, tampak betul bahwa peran ibu dalam membentuk karakter mereka sangatlah signifikan. Kita sering mendengar kata Al-Ummu madrasatun ula. Seorang ibu adalah sekolah yang pertama, yang dimaksud adalah sekolah untuk anak-anaknya. Ada juga sebuah syair Arab yang berbunyi: “Al ummu madrasatun idzaa a'dadtahaa a'dadta sya'baan thayyibal a'raaq” (ibu adalah sebuah sekolah, jika pandai dipersiapkan, maka yang kita persiapkan sebenarnya adalah satu bangsa yang baik dasarnya).
Jika melihat sekilas biografi orang-orang besar tadi, tampak betul bahwa peran ibu dalam membentuk karakter mereka sangatlah signifikan. Kita sering mendengar kata Al-Ummu madrasatun ula. Seorang ibu adalah sekolah yang pertama, yang dimaksud adalah sekolah untuk anak-anaknya. Ada juga sebuah syair Arab yang berbunyi: “Al ummu madrasatun idzaa a'dadtahaa a'dadta sya'baan thayyibal a'raaq” (ibu adalah sebuah sekolah, jika pandai dipersiapkan, maka yang kita persiapkan sebenarnya adalah satu bangsa yang baik dasarnya).
Apa yang bisa dilakukan seorang ibu untuk melahirkan para pahlawan dari
rumahnya?
1. Pendidikan Keimanan
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. at-Tahrim: 6).
Rasul bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani atau majusi.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Jadi, bagaimana agar anak tetap dalam keadaan tauhid yang murni—tidak
lantas berubah menjadi yahudi, nashrani atau majusi, inilah tugas terpenting
orang tua.
Cara paling mudah yang telah ditempuh Rasulullah saw. dalam menanamkan
pondasi keimanan kepada anak-anak adalah sebagai berikut:
• Membimbing
anak-anak untuk mengucap kata “Allah”, kemudian dilanjutkan dengan kalimat
tauhid, sekaligus menjelaskan maknanya dalam bahasa yang sederhana.
• Menanamkan
kecintaan kepada Allah dan Rasulullah saw. pada awal-awal usia sehingga mereka
mulai bisa memahami pada usia tamyiz.
• Mengajarkan
Al-Qur’an, dimulai dari ayat-ayat pendek sembari menanamkan kecintaan kepada Al-Qur’an.
• Membiasakan
melakukan shalat pada usia 7 tahun dan ibadah-ibadah lainnya yang telah mampu
dilaksanakan.
• Mulai
diperkenalkan dengan konsep halal dan haram.
2. Pendidikan Akhlak (Adab)
Akhlak adalah pancaran dari kekuatan akidah yang dimiliki seseorang.
Artinya, jika keimanan telah terpancang kuat dalam jiwa seseorang, maka dengan
sendirinya ia punya dorongan untuk melakukan sesuatu yang baik. Misalnya,
ketika seseorang telah meyakini firman Allah, “(Lukman berkata), ‘Hai anakku,
sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam
batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya)...” (QS. Luqman: 16), maka dengan sendirinya ia akan termotivasi
untuk senantiasa berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk—meskipun
perbuatan buruk yang kadarnya hanya seberat biji sawi.
Akhlak merupakan suatu hal yang secara spontan muncul jika berhadapan
dengan sesuatu. Misalnya, seorang anak akan segera mengeluarkan uang ketika
berhadapan dengan yang membutuhkan, tanpa harus berpikir panjang dan
menimbang-nimbang. Jadi, akhlak adalah sesuatu yang muncul dari alam bawah
sadar, yang terjadi karena kebiasaan.
Keluarga adalah wahana yang terbaik untuk terbentuknya akhlak-akhlak
yang mulia. Penanaman kebiasaan yang baik, hendaknya memang dilakukan sedini
mungkin, dan ini adalah prestasi terbaik yang berikan orang tua kepada
anak-anaknya. Rasul bersabda, “Tidak ada pemberian yang terbaik yang diberikan
seorang ayah (orang tua) kepada anaknya selain adab yang mulia.” (HR.
Tirmidzi).
Orang tua perlu bersikap tegas dalam membiasakan akhlak yang baik ini.
Rasul bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat di
saat mereka berusia 7 tahun, serta pukul mereka pada usia 10 tahun jika mereka
enggan melaksanakannya dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad
dan lain-lain dengan sanad hasan).
Selain tegas, faktor keberhasilan yang terpenting lainnya adalah
kesinambungan dan pentahapan. Sebab, segala sesuatu memang tercipta dalam tahap-tahap—tidak
ada istilah 1000 candi dalam semalam. Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu
melalui tahap demi tahap (dalam kehidupan).” (QS. al-Insyiqaq: 19).
3. Pendidikan Fisik
Pendidikan
fisik juga suatu hal yang penting, karena tanpa fisik yang kuat, fitrah,
potensi dan bakat yang dimiliki anak tidak akan termanfaatkan secara optimal
untuk hal-hal yang berguna bagi umat. Pendidikan fisik dilakukan dalam beberapa
hal, misalnya:
Dalam Masalah Kebersihan, Kerapian dan
Keindahan
1. Menjaga
kebersihan, baik kebersihan badan, pakaian, tempat tidur, dan sebagainya. Rasul
bersabda,“Bersih-bersihlah, karena sesungguhnya Islam itu bersih.” (HR Ibnu
Hibban).
2. Menutup
tubuh dengan pakaian yang bisa melindungi diri dari cuaca. Allah berfirman,
“Hai anak-anak Adam, sungguh telah kami turunkan kepada kalian pakain yang
menutupi aurat kalian dan perhiasan.” (QS. al-A’raf: 26).
3. Mengajari
anak untuk tampil rapi, indah dan pintar berhias dengan hiasan yang syar’i.
Biasakan mereka untuk tampil dengan pakaian yang baik, rapi, bersih, indah dan
menarik. Allah berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) mesjid…” (QS. al-A’raf: 31). Dari Abu Darda, Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya kamu hendak datang kepada saudara-saudaramu seagama,
maka bersihkan dan indahkan kendaraan kamu dan juga pakaian kamu, sehingga kamu
itu tampak bagaikan tahi lalat tubuh di kalangan orang-orang (indah dan
menonjol); karena sesungguhnya Allah itu tidak menyukai pakaian kumal dan
sengaja berpakaian kumal.” (HR. Abu Dawud).
Dalam Masalah Makanan dan Minuman
1. Memakan
dan meminum sesuatu yang halal serta thayyib. Thayyib di sini berarti bahwa
makanan tersebut berkualitas, baik dari gizi maupun lainnya, misalnya tidak
busuk, tidak mengandung zat yang berbahaya dan sebagainya. Allah berfirman,
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi…” (QS. al-Baqarah: 168).
2. Tidak
makan dan minum secara berlebihan“…Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Berolahraga
Senantiasa berolahraga, selain membuat tubuh kuat, rajin berolahraga
juga akan membuat kita terhindar dari berbagai penyakit berat. Rasulullah
bersabda, “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada
Mukmin yang lemah.” (HR. Bukhari).
4. Pendidikan Akal (Intelektual)
Akal adalah satu anugerah kepada manusia yang sangat diperhatikan dalam
Islam. Hanya orang-orang berakallah yang terkena berbagai kewajiban dalam Islam.
Rasul bersabda, ““Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari 3
golongan, di antaranya: orang gila sampai dia kembali sadar.” (HR. Abu Dawud).
Dan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya untuk
berpikir. Firman-Nya, “Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala". (QS. Al-Mulk: 10).
Produk dari akal adalah ilmu. Pujian Allah terhadap orang-orang yang berilmu,
menjadi motivasi sekaligus penyadaran bahwa aktivitas menuntut ilmu adalah
sebuah kewajiban bagi setiap mukmin, termasuk anak-anak kita. “...Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. al-Mujadilah: 11).
Pendidikan akal dimulai dari pemberian gizi yang baik, yang akan
membantu optimalisasi pertumbuhan otak. Menurut para ahli, dari bayi mulai
lahir hingga berusia 3 tahun, kapasitas otaknya tumbuh hingga 90% kapasitas dewasanya.
Inilah yang disebut periode emas (golden age). Jika pada umur-umur ini orang
tua lalai untuk memberi gizi yang dibutuhkan otak, serta tidak menstimulasi
otak dengan maksimal, maka akan ada kesempatan emas yang terengut dan tak akan
datang kembali pada umur-umur selanjutnya. Tak heran, pada anak-anak yang
dididik dengan baik, ternyata berhasil memperlihatkan prestasi yang begitu
dahsyat, seperti hapal 30 juz Al-Qur’an dalam usia 5 tahun.
Sungguh, potensi yang tersimpan dalam otak manusia begitu luar biasa.
Dari otak yang hanya seberat 1,5 kg ini terdapat bermilyar-milyar sel saraf.
Richard Restak M.D, seorang ilmuwan, mengatakan bahwa otak manusia bisa
menyimpan informasi lebih banyak dari seluruh perpustakaan di dunia. Inilah
mengapa Allah SWT selalu menegur manusia dalam firman-firman-Nya, “afalaa
ta’qiluun (apakah kamu tidak berakal)”, “la’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan
kamu berpikir),” dan sebagainya.
5. Pendidikan Kejiwaan (Psikis)
Pendidikan kejiwaan—yakni memunculkan emosi dan spiritual yang
matang—harus semakin digencarkan di zaman ini, di mana revolusi teknologi telah
memungkinkan anak-anak kita mendapatkan pendidikan intelektual lebih baik dari
zaman sebelumnya. Kecerdasan akal yang tak diimbangi dengan kecerdasan psikis,
sering memunculkan anomali-anomali yang mengejutkan. Masih ingatkah Anda
tentang seorang Cho Seung Hui yang membantai mahasiswa di kampus Universitas
Virginia Tech beberapa masa yang lalu? Konon, Cho Seung Hui adalah seorang yang
sangat cerdas, namun sangat labil dalam masalah emosi. Ia pun berhasil tampil
sebagai pembunuh berdarah dingin. Menghamburkan lebih dari 170 peluru, ia
berhasil menghabisi 32 nyawa dan setelah itu ia membunuh dirinya sendiri.
Di dalam Islam, pendidikan kejiwaan telah ditekankan. Misalnya, kita
dilarang melaknat anak-anak kita. Rasulullah saw. bersabda, “...Melaknat
seorang muslim sama dengan membunuhnya.” (HR. Bukhari). Jika yang dilaknat
adalah anak-anak kita, tentu lebih tragis lagi. Anak-anak memiliki hati seputih
kertas dan selembut sutera. Hardikan dari orang-orang—khususnya yang ia
cintai—akan mencipta luka di hati yang tak akan ia lupakan seumur hidupnya.
Selain mencipta luka, juga akan menurunkan rasa percaya diri, serta
menjadikannya belajar melaknat orang lain pula. Ingatlah puisi Dorothy Law
Nolte berikut ini:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri
Inilah rahasia mengapa Rasulullah mengatakan kepada seorang lelaki yang
mengaku tak pernah mencium anaknya, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
kamu jika Allah mencabut rasa kasih sayang dalam hatimu.” (HR. Bukhari).
Usamah bin Zaid r.a. berkata, “Rasulullah saw. pernah mendudukkan saya
(saat masih kecil) di atas salah satu pahanya dan mendudukkan Al-Hasan di atas
pahanya yang lain, kemudian Rasulullah memeluk kami berdua lalu berdoa, ‘Ya
Allah, sayangilah kedua anak ini, karena saya menyayangi keduanya.” (HR.
Bukhari).
Sikap menyayangi, mendukung, bersahabat, memberi dorongan serta pujian,
bertoleransi dan melakukan anak dengan baik, akan sangat berpengaruh terhadap
aspek kejiwaan anak. Sebaliknya, sikap mencela, mengacuhkan, memusuhi dan
menghina, hanya akan membuat si anak senantiasa berkecamuk dalam
pemikiran-pemikiran negatif, yang berdampak pada mental yang tak stabil.
6. Pendidikan Sosial
Kekuatan umat islam adalah ketika mereka bergabung dalam satu jamaah.
Itulah mengapa, Allah lebih mencintai amalan-amalan yang dikerjakan secara
bersama-sama. Shalat misalnya, pahalanya lebih banyak jika dilakukan secara
berjamaah. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. ash-Shaff: 4).
Sedangkan salah satu perekat jamaah yang paling baik, setelah akidah
adalah ukhuwah. Maka, sejak dini seorang anak harus dilatih untuk bisa
bersosialisasi, bermasyarakat dan menerapkan hak-hak ukhuwah. Rasulullah saw.
bersabda, “…Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya; ia tak
boleh saling menyakiti, merendahkan dan menghina...” (HR. Muslim).
Seorang anak harus diajari untuk berinteraksi dengan orang lain,
dimulai dari lingkungan terkecilnya, yakni keluarga, yakni ayah, ibu dan
saudara-saudara. Interaksi yang harmonis, bisa jadi berasal dari kita, kaum
ibu. Jika ibu bisa mengambil peran secara baik, maka perseteruan kakak dan adik
tak akan terjadi di luar batas kewajaran. Peran ini—menurut Ummu Harits, dalam
buku Mengelola Persaingan Kakak Adik—adalah sebagai mediator, penengah yang
adil. Jika seorang ibu sudah memihak, maka ia telah mengajari anak untuk
bersikap tidak netral, yang akan membekas di sanubari sang anak. Menanamkan
kesadaran kepada anak-anak yang lebih tua, seringkali lebih mudah. Akan tetapi,
jangan suruh mereka untuk selalu mengalah kepada si kecil. Apalagi sampai
menurunkan martabat sang kakak di depan adik, misalnya dengan berkata, “Kamu
nakal!” Jika Anda hendak menasihati si kakak, sebaiknya di ruang khusus yang
terpisah dengan adiknya—demikian juga sebaliknya.
Interaksi dengan orang di luar keluarga juga harus dibangun. Ajari anak
untuk menghargai yang lebih tua—misalnya dengan mencium tangannya saat
bertemu—serta menyayangi yang lebih muda—misalnya dengan membelai rambutnya
secara lembut. Selain itu, jangan terlalu membatasi pergaulan anak-anak kita,
misalnya dengan selalu mengurung diri di rumah karena takut jika dipengaruhi pergaulan
anak-anak di sekitar rumah kita. Anak-anak juga perlu bersosialisasi, namun
pantaulah mereka selalu, dan berilah konter atas apa-apa yang Anda anggap tidak
tepat, yang berasal dari lingkungan sekitar, tentu saja dengan cara yang bijak.
Sekaligus untuk menanamkan kebiasaan beribadah secara jamaah, sangat
baik jika orang tua—terutama ayah—mengajak anak-anaknya untuk ke masjid setiap
shalat 5 waktu. Jika mereka berbuat keributan di masjid, ini menjadi entry
point untuk memahamkan bahwa mereka harus menjaga ketenangan saat melihat orang
lain beribadah. Wallahu a’lam bish-shawwab.
7. Pendidikan Seksual
Pada beberapa masyarakat, mereka menganggap tabu memberikan pendidikan
seksual kepada anak-anaknya, sehingga informasi tentang seks justru didapat
dari pihak luar, yang terkadang hanya berupa informasi sepotong-sepotong yang
malah menyesatkan. Pendidikan seksual diawali sejak kanak-kanak, yakni dari
pengenalan perbedaan antara lelaki dan perempuan yang diikuti dengan pembedaan
cara berpakaian, cara bermain dan sebagainya. Anak-anak lelaki dan perempuan
juga harus mulai diajarkan untuk terpisah tempat tidurnya.
Ketika anak memasuki masa tamyiz (pra pubertas, sekitar 7-10 tahun),
ajarilah ia untuk meminta izin ketika memasuki tempat-tempat pribadi—seperti
kamar tidur—baik milik orang tua atau anggota keluarga yang lain. Allah
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan
wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu,
meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang
subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah
sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas
mereka selain dari (tiga waktu) itu…” (QS. an-Nuur: 58).
Ketika anak memasuki usia pubertas (remaja), maka anak mulai dipahamkan
dengan sistem reproduksi seperti haid dan mimpi basah, serta berbagai
konsekuensi yang harus ditanggung. Akan tetapi, pada masa-masa ini, hendaklah
mereka dijauhkan dari berbagai macam hal yang dapat merangsang gairah seksual.
Mereka juga harus telah menutup aurat.
Sedangkan bila anak telah memasuki usia siap menikah, maka ajarkanlah
padanya etika jimak, serta berbagai hal yang berkaitan dengan sistem
reproduksi, seperti hamil, melahirkan, menyusui dan sebagainya. Sedangkan pada
anak lelaki, kewajiban untuk memberi nafkah lebih ditekankan dibanding
perempuan.
8. Pendidikan Finansial
Masalah finansial, mulai dari cara mencari ma’isyah, mengatur ma’isyah,
memanfaatkan hingga tanggung jawab yang berkaitan dengan hal tersebut seperti
zakat, infak, sedekah, harus sejak dini ditanamkan kepada anak. Kepada anak
lelaki, tanamkan kepada mereka, bahwa tanggung jawab lelaki adalah memberi
nafkah kepada anak istrinya. Kepada perempuan, didiklah untuk bisa qanaah dan
tidak mengeluh dengan kesempitan rezeki yang mungkin akan dirasakan. Ajarkanlah
mereka nilai uang, serta sikap menghargai uang. Jangan gelontorkan uang saku
secara berlebihan, meskipun Anda mampu untuk itu. Bantulah mereka untuk
merencanakan keuangan mereka, termasuk menabung dan belajar investasi.
Akan tetapi, perlu diingat, mengajari anak hidup hemat, bukan berarti
membentuk mereka untuk menjadi pelit. Justru mereka harus dirangsang untuk
bersikap dermawan. Setelah anak beranjak agak besar, ajari mereka untuk mencari
penghasilan, misalnya dengan berdagang. Jangan tekankan pada hasil, tetapi
lebih pada semangat mereka untuk berusaha mandiri. Pelan-pelan, jiwa wirausaha
mereka akan terpupuk. Bagaimanapun, menjadi seorang pengusaha adalah cara yang
lebih baik untuk mandiri secara finansial. Rasulullah bersabda, “Mukmin yang
kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.”
(HR. Bukhari).
9. Pendidikan Leadership
Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin…” (HR. Bukhari). Hadits
tersebut menginspirasikan kepada kita, bahwa leadership (sikap kepemimpinan)
merupakan suatu hal yang harus dimiliki setiap orang, karena setiap orang
adalah pemimpin—minimal memimpin diri sendiri.
Membangkitkan rasa kepemimpinan dimulai dari membantu anak untuk
memahami dirinya sendiri, mengetahui peta diri—positif negatifnya,
mengoptimalkan yang positif dan meminimalisir yang negatif, dan oleh karenanya,
anak mampu menjadi diri sendiri. Bukan sebaliknya, senantiasa melindungi si
anak dengan kebesaran nama Anda dan suami, serta berharap anak-anak Anda akan
mendapatkan kemudahan dengan berlindung di bawah ‘sayap’ Anda. Ingatlah, tak
akan selamanya Anda bersama dengannya. Suatu saat, anak-anak yang Anda
timang-timang itu, harus berjalan di atas muka bumi sebagai dirinya sendiri,
yang memiliki tanggung jawab terhadap keluarga mereka.
Usai anak mampu berjalan di garis lurus—yakni garis yang sesuai dengan
potensi dan bakat mereka, bantulah agar ia mampu membentuk tim. Pada saat ia
berada di tim, tak harus ia menjadi ketua untuk menumbuhkan leadership-nya.
Cukup jika ia mampu bersikap amanah terhadap apa-apa yang dibebankan kepada
mereka, berarti sikap kepemimpinannya mulai terbentuk.
Pada anak-anak yang lebih tua, apalagi yang sulung, tuntutan untuk
memiliki sikap kepemimpinan biasa lebih tinggi. Biasanya, secara otomatis, anak
akan mampu memimpin adik-adiknya. Akan tetapi, jangan biarkan mereka
mendominasi anak-anak yang lebih muda, dan jangan biarkan pula anak-anak yang
lebih muda merasa terus hidup di bawah bayang-bayang mereka, bahkan merasa
nyaman dan enjoy selamanya. Berilah jatah bergilir kepada mereka untuk menjadi
pemimpin. Misalnya, Anda membuat kegiatan rihlah keluarga ke tempat wisata.
Anda bisa mengarahkan forum keluarga untuk memilih—misalnya Syahidah sebagai
ketua panitia. Besoknya, ketika Anda kedatangan tamu dari keluarga mertua,
pilihlah Ramadhan sebagai ketua panitia. Begitu seterusnya.
Bagian Ketiga Dari Tiga Tulisan
Ditulis Oleh Afifah Afra
0 komentar:
Post a Comment